Storytelling

Zainab Nururrohmah
3 min readMar 1, 2024

Saya membenamkan mata dalam layar, membaca setiap kata-kata yang tersusun indah, dengan makna yang sulit dijangkau secara impulsif. Beberapa waktu terakhir, anehnya saya sangat menikmati membaca fiksi. Terlepas dari non-fiksi tetap menjadi pilihan utama, ada bagian dari diri saya yang tertarik untuk menelisik lebih jauh tentang kisah yang diimajinasikan sang penulis.

Saya bukan seorang book worm, tapi ketika suatu karya berhasil menarik perhatian saya, saya akan jatuh terbenam di dalamnya, mungkin lebih tepat disebut attentive reader atau avid reader. Saya akan enggan berhenti sampai saya lelah berjam-jam membaca, dan bertekad untuk menamatkannya kembali ketika mata saya terbangun esok hari. Namun ada yang seringkali tidak dapat saya hadapi, kenyataan bahwa saya takut untuk segera menyelesaikan apa yang saya baca, ketika saya sudah terlalu terpikat dengan karya tersebut, karena itu seperti saya menyampaikan selamat tinggal pada tokoh khayalan dan kisah perjalanan hidup mereka.

Saat masih kecil, saya dan kakak saya adalah penggemar manga Kungfu Boy dan series Harry Potter — untuk yang satu ini, kakak saya pecinta berat. Hal itu tidak pernah berubah hingga saat ini, ketika saya mendapati profil Chinmi dan Goku sampai saat ini pun mereka punya ruang tersendiri di hati saya. Seiring berjalannya waktu, saya jatuh cinta pada manga & anime Naruto, sebuah kisah yang membawa saya untuk sedih, menitikan air mata, haru, takut, cemas, dan bahagia. Mendapati Naruto berakhir dan diteruskan oleh Boruto benar-benar menghibur kehampaan saya yang tidak mampu mengakhiri kisahnya, karena saya tidak ingin mengucapkan selamat tinggal. Ketika saya membaca light novel Naruto, ada kesan yang lebih dalam dibandingkan manga, dan entah mengapa saya sangat bersyukur dan berterima kasih pada Masashi Kishimoto dan tim yang telah melahirkan sebuah karya yang sangat indah dan dicintai banyak orang. Dan satu hal, saya sangat bersyukur kisah itu belum berakhir, karena saya belum sanggup mengucapkan selamat tinggal.

Menitikan air mata, haru, cekat, cemas, takut… tidak semua perasaan seperti ini bisa disampaikan oleh sembarangan penulis, namun yang terakhir saya baca berhasil dengan semua itu. Sebuah web novel bertemakan romance, tragedy, dan psychology karya 서사희 (Seo Seohee) berjudul 사랑하는 나의 억압자 (My Beloved Opressor). Karya ini jauh dari kata romansa cinta pada umumnya, tentang suatu pasangan yang berakhir saling menyakiti karena perbedaan latar belakang masa lalu yang dipenuhi dendam dan trauma. Berlatar dunia tahun 700-an M di Eropa dimana peperangan, kejatuhan kerajaan, dan revolusi harus dibayar dengan perpisahan keduanya. Kisah ini banyak mengangkat kondisi psikologis dan mental dari pemeran utama yang hidup pada masa itu, hal-hal seperti PTSD, trauma, sleeping disorder, suicidal, keguguran, dan kebengisan perang, menjadi backstory yang membentuk karakter kedua pemeran utama. Saya berempati dengannya dan memahami bahwa pilihan ketika itu hanya tersisa pilihan sulit dan siapapun tidak berdaya untuk melawan kehendak masing-masing karena rangkaian pengalaman yang mereka bawa. Dan hati saya pun rasanya sakit sekali setiap membaca kemalangan masa lalu dan betapa kehidupan di masa perang membawa siapapun tidak ada selain kesedihan.

Saya sependapat dengan frase “You can’t write unless you read”. Dan jika bisa menambahkan: sebuah kisah yang luar biasa tidak akan hadir tanpa imajinasi, pendalaman rasa, kecerdasan, dan empati dari penulis. Setiap orang bisa membaca untuk bisa menulis, tapi tidak setiap orang bisa merasa dan berempati dengannya.

Tidak setiap kisah diterjemahkan dalam rangkaian kata, seringkali ia dituangkan dalam karya seni dengan makna yang lebih dalam bahkan dengan kesederhanaan goresan sekalipun.

Saya menemukan satu tulisan menarik tentang ‘The Art of Storytelling’ di Medium dan Wordpress dan tentang ‘Telling Stories with Art’, kalian juga mungkin akan menyukainya :)

--

--