Bitterness in Happiness

Zainab Nururrohmah
3 min readJan 25, 2024

Sejak 4 bulan terakhir, hati ini terasa sangat berat. Kadang saat saya diam dan potret tentang Palestine muncul, rasanya sangat perih di dada, berat di tenggorokan, dan panas di mata. Semakin saya sering termenung, semakin saya banyak mensyukuri hal-hal yang sering luput dan terasa seperti take it for granted. Rasanya sakit tapi bersyukur. Apa yang terjadi di Palestina benar-benar membuka pandangan saya tentang makna hidup, hakikat kebahagiaan dan keberkahan, makna rizki, dan apa itu ‘cukup’.

Melihat kondisi saya saat ini, saya sangat bersyukur. Fisik yang lengkap dan alhamdulillah sehat, orang tua dan keluarga yang masih lengkap dan sehat, rumah untuk bernaung, kecukupan untuk basic needs, kenyamanan untuk hidup, keamanan, ketenangan hati, semua hal yang sebelumnya tidak pernah benar-benar saya renungi sedalam ini. Semua nikmat ini rasanya privilege yang saya sadari ternyata mahal untuk banyak orang di luar sana, dan di saat yang sama terasa janggal karena banyak orang lain yang diuji dengan kesabaran tanpa merasakan apa yang saya rasakan.

Rasanya sangat sakit, sakit sekali setiap melihat apa yang terjadi di Palestina setiap harinya. Penderitaan mereka terasa sangat pahit, namun mereka masih punya keimanan yang justru menguat setiap waktunya. Rasanya kami hidup di dunia yang berbeda, dan saya melihat surga pada mereka, orang-orang yang menyentuh hati ini tidak seperti yang pernah saya rasakan sebelumnya. Saya rasa saya bahkan tidak akan sanggup menanggung bahkan 1% dari apa yang mereka rasakan bahkan hanya untuk 1 hari saja. Dan karenanya, mereka selalu menjadi kompas saya dalam memandang hidup, pengingat saya setiap kali saya merasa jengkel akan hal-hal remeh yang justru membuat saya jauh dari rasa syukur.

26 Januari 2023, hari ke-112 genosida di Gaza, bukan, sudah +75 tahun genosida di Palestina.

3 hari yang lalu, saya tidak posting apapun tentang Palestina, tidak seperti biasa, saya hanya merasa berat untuk terus melihat tentang apa yang terjadi pada mereka, dan bagaimana kejamnya dunia melawan mereka. Namun kemarin, di hari ke-111, Motaz mem-posting update yang meninggalkan mixed feelings bagi saya dan banyak orang. Alhamdulillah Motaz dan keluarga berhasil dievakuasi ke Qatar. Jauh di lubuk hati ini, saya merasa sangat senang dan bersyukur. Namun ada sebersit kesedihan, bahwa I feel more distanced from Gaza. As the time goes by, the news about Palestine getting fewer, yet their suffering getting bigger and it’s really break my heart.

Sulit rasanya menuliskan ini lebih lanjut. Saya hanya berharap Allah bantu Palestina untuk mengakhiri penderitaan mereka, mengeluarkan mereka dari kehimpitan yang bertubi-tubi, memerdekakan mereka, dan memberikan nikmat bagi mereka, nikmat di dunia ini. Saya ingin mereka bahagia… hanya Allah yang bisa mewujudkan itu. Saya tidak akan pernah lupa, saya tidak akan pernah berhenti berusaha dengan daya yang saya miliki untuk menyuarakan tentang mereka.

Terima kasih ya Allah, Engkau perkenalkan dan hubungkan kami dengan saudara-saudara kami di sana, maafkan kami karena ketidakmampuan kami menghentikan ini. Tolong mereka ya Allah, hanya kepada Engkau kami memohon dan berharap. HasbunAllah wani’mal wakhil.

Teman-teman, jangan lupakan Palestina juga ya :’
Lakukan apapun yang kita bisa, ingat selalu mereka dalam renungan hati dan doa-doa kita ya :’

--

--